Budaya Ganja di Aceh
Ganja,
itulah yang akan tersirat di benak setiap orang ketika berbicara
mengenai Aceh, bumi yang kaya dengan hasil alam mulai dari minyak bumi,
gas alam dan masih banyak lagi yang di kandung oleh provinsi yang
terkenal dengan sebutan bumi Serambi Mekah tersebut. Bahkan pada zaman
DOM (daerah Operasi Militer) dahulu, sangat banyak kisah-kisah ataupun
kejadian yang luput dari media baik cetak maupun televisi. Namun ikonik
Aceh sebagai lumbung ganja tak pernah lekang hingga saat ini.
Dari
kalangan pemerintah sendiri sebenarnya menyadari bahwa hampir di tiap
kabupaten di provinsi Aceh di tumbuhi tanaman ganja yang mana untuk
memberantasnya tidak semudah membalik telapak tangan. Budaya dan etika
rakyat Aceh sendiri sudah menganggap ganja sebagai kebutuhan sehari-hari
yang digunakan untuk bumbu masakan maupun untuk untuk media rekreasi
seperti rokok.
Ganja
di Aceh di tanam oleh rakyat Aceh sendiri. Bila kita jumpai di setiap
daerah di Aceh pada saat acara kenduri misalnya, penggunaan ganja sudah
menjadi tradisi dalam hidangan kuliner gulai kambing dan gulai itik yang
biasanya dicampur dengan bunga dan biji ganja yang menjadi bumbu wajib.
Itulah ciri khas gulai Aceh. Bang Din, seorang tukang masak spesialis
gulai kambing dari daerah bagian selatan Aceh mengatakan “Kalau tidak di
kasih ganja, mana enak gulai kambing saya?” Bang Din selalu terlihat
hampir di setiap acara kenduri mulai dari kenduri perkawinan maupun
kenduri sunat rasul. Bila dia sudah mulai memasak gulai ia pasti
bertanya ke tuan rumah atau ke anak muda setempat untuk mencari bumbu
khas Aceh yang satu itu.
Namun
belakangan ini ganja sepertinya sudah tidak lagi menjadi bagian dari
kehidupan rakyat Aceh, ganja sudah memasuki taraf yang memprihatinkan.
Ganja dijadikan lahan bisnis oleh para mafia (bandar narkoba) demi
mencari keuntungan pribadi.
Mereka
membuka lahan-lahan hutan hanya untuk menanam ganja dalam skala besar.
Mereka tidak mempedulikan kaidah-kaidah ganja itu sendiri, seperti kapan
waktu tanam dan kapan waktu panen. Secara tidak langsung perbuatan
seperti itu merugikan rakyat Aceh sendiri, karena para mafia tersebut
hanya memodali para pekerja untuk berladang ke tengah hutan tanpa
mempedulikan keselamatan para peladang tersebut. Para peladang baru akan
sadar ketika mereka akhirnya tersangkut dengan hukum. Apakah mereka
bersalah? sementara mereka butuh uang untuk menopang kehidupan
keluarganya. Karena memiliki keahlian dalam menanam ganja mereka
dimanfaatkan oleh para mafia dengan di iming-imingi sedikit uang.
Dahulu
di salah satu wilayah pedalaman Aceh yang bernama Bantaqiyah, ada
seorang ulama besar yang kehidupan sehari-harinya adalah sebagai petani
ganja hingga akhir hayatnya di tembak mati oleh TNI di masa DOM (Daerah
Operasi Militer). Sampai saat ini ladang ganja masih bertebaran di
wilayah tersebut namun sayangnya ladang-ladang ganja tersebut sudah
dikuasai oleh oknum-oknum yang mencari keuntungan sendiri.
Banyak
pro dan kontra tentang tanaman ganja di Aceh mengingat sangat banyaknya
doktrin-doktrin anti ganja yang disusupkan ke masyarakat Aceh. Tapi itu
semua hanya mampu menyentuh kalangan perkotaan di Aceh, tidak dengan
warga pedalaman maupun perkampungan. Akan tetapi rakyat Aceh masih
banyak yang belum berani angkat bicara mengenai tanaman yang satu ini.
Hingga
saat ini ganja tetap merupakan tanaman kebanggaan Rakyat Aceh. Hanya
segelintir orang di Aceh yang membenci tanaman ini yang mungkin
dikarenakan suatu alasan, yaitu ganja adalah narkoba! Semoga ekonomi
rakyat Aceh bisa membaik bila ganja di legalkan demi kepentingan
kesehatan dan industri di tanah air, mengingat begitu ahlinya rakyat
Aceh dalam bercocok tanam ganja di alam liar di bumi serambi mekah ini.